Perubahan kadar serotonin dapat terjadi pada individu-individu yang
stres atau belum makan. Studi terbaru memeriksa aktivitas daerah otak
yang berbeda, dan hubungan mereka dengan pengaturan amarah.
“Kami sudah mengenal selama beberapa dekade bahwa serotonin merupakan
kunci dalam memunculkan agresi (amarah, perbuatan kasar), namun
baru-baru ini kami telah memiliki teknologi untuk melihat ke dalam otak,
dan memeriksa bagaimana serotonin membantu kita dalam mengatur impuls
emosional kita,” kata Dr Molly Crockett, rekan penulis pertama studi
tersebut, dalam siaran pers.
“Dengan menggabungkan tradisi panjang dalam penelitian dengan teknologi
baru, akhirnya kami berhasil mengungkap mekanisme bagaimana serotonin
dapat mempengaruhi agresi.”
Para peneliti melihat efek dari acute tryptophan depletion (ATD-metode
untuk mempelajari tindakan antidepresan) pada 30 individu sehat. Sebuah
kuesioner tentang kepribadian menunjukkan individu mana saja yang
cenderung berperilaku agresif.
Kemudian peserta penelitian disuruh berdiet, dengan mengonsumsi sedikit
tryptophan (jenis asam amino yang biasanya digunakan untuk diet),
sehingga perkembangan serotonin terhenti pada satu hari. Kemudian
diikuti oleh jumlah normal tryptophan dalam campuran yang sama pada hari
lain, sehingga serotonin mengalami efek plasebo (pemulihan diri).
Setelah itu tim mengukur respon otak terhadap gambar wajah yang sedang
marah, sedih, dan netral, menggunakan pencitraan magnetik resonansi
fungsional (fMRI).
Ketika kadar serotonin otak lebih rendah, peserta menunjukkan gejala
lemahnya komunikasi antara daerah korteks prefrontal otak dan amigdala,
yaitu sistem limbik otak yang mengatur emosi.
Temuan menunjukkan bahwa ketika tingkat serotonin rendah, korteks
prefrontal kurang mampu mengendalikan respon kemarahan yang dihasilkan
oleh amigdala (saraf otak yang berperan dalam melakukan pengolahan
terhadap reaksi emosi).
“Meskipun hasil penelitian ini berasal dari relawan kesehatan, namun
hasil ini masih relevan untuk berbagai gangguan kejiwaan di mana
kekerasan merupakan masalah yang umum,” ujar rekan penulis Dr Luca
Passamonti dari Consiglio Nazionale delle Ricerche (CNR).
“Kami berharap bahwa penelitian kami akan mengarah untuk meningkatkan
diagnostik serta perawatan yang lebih baik untuk kondisi seperti ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar